Kamis, Juni 11, 2009

Kisah Seorang TKW Oleh Kholid Mawardi

“mbok aku sudah tak kuat lagi hidup begini, aku tak tahan lagi mbok!” itu yang selalu di ucapkan Sari beberapa hari ini. Ada perubahan aneh dalam diri Sari setelah kelulusannya dari Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya. Sari banyak termenung, menyendiri dan sering menangis, bahkan dalam tidurnya pun Sari tetap berkata dengan lantang dia tidak tahan lagi untuk hidup dalam kemelaratan dan kehinaan.
Sari merupakan gadis cantik dan pintar di madrasahnya, sebab kemelaratannyalah dia menjadi pecundang, menjadi gadis selalu terhina, justru karena cantik dan pintarnya. Kecantikan dan kepintaran yang terbungkus kemelaratan menyebabkan nestapa yang tiada berperi bagi gadis sekecil dia. “ walah ayu-ayu kok kere” begitu teman-teman lelaki di madrasahnya menyindir. Memang benar apalah arti cantik bila tubuh terbungkus baju putih yang telah kekuningan dan berbintik hitam, rok panjang yang harusnya merah justru telah menjadi coklat, jilbab yang selalu kedodoran dan berbau, bau khas mboknya sehabis mengasapi ikan laut. Apa yang bisa aku banggakan dalam hidupku, mbokku, bapakku, adik-adikku, rumahku, semua tak terlihat bagi orang lain atau mungkin mereka menganggap kami adalah kumpulan sampah yang merusak sedapnya pemandangan, pikir Sari.
Perih dan nestapa yang sangat, Sari rasakan pada suatu kali pak Irsyad guru fiqhnya bertanya, apakah dia ingin ziarah ke baitullah, pergi haji. Dengan berapi-api Sari mengatakan ingin naik haji, mencium hajar aswat, mendoakan orangtuanya agar diberi umur panjang dan dapat duit yang banyak untuk membayar sekolahnya dan beli baju seragam yang baru. Jawaban itulah sumber kehinaan baginya.

Teman sekelasnya menghinanya, “apa salahku, apa aku tidak boleh untuk pengin, pengin thok pergi ke Arab”, ujar Sari dalam tangisnya. Kata-kata terakhirnya itu semakin menenggelamkan Sari dalam kehinaan, hatinya semakin meradang. “cium wae bokong mbokmu yang item itu, anggepen hajar aswat yo!” kata salah satu temannya. “iyo Sari mau ke Arab numpak Buroq, Buroqke bapaknya yang tidak ada rem dan slebornya”,timpal temannya yang lain. Sari sangat paham yang dimaksudkan Buroq oleh teman-temannya adalah sepeda onthel yang selalu menemani bapaknya ketika pergi pesisir pantai Banyuwangi untuk menjadi kuli panggul, sepeda yang penuh karat seperti seirama dengan kehinaan bapaknya dan keluarganya. “ sari kamu itu mending angon adikmu yang umbelen itu biar tidak njaluk-njaluk sego tanggane”, ejek teman-teman perempuannya. Dalam ketiadaan, memang kadang-kadang dua adiknya yang masih kecil, satu perempuan dan satu laki-laki sering minta maem ke tetangga. Omongan teman-temannya betul-betul menggoreskan luka yang dalam hati gadis kecil itu, “ mengapa mung pengin, pengin thok kok gak oleh”, batin Sari. “Sari, pergi haji ke Arab tidaklah harus kaya dulu, banyak orang yang kerja di Arab seperti TKI itu malah tiap tahun dapat haji, yakinlah kalau kepenginanmu kuat Allah akan memanggilmu kesana”, kata pak Irsyad. “ ya Allah kasihilah pak Irsyad, panjangkan umurnya, limpahkan rizki yang banyak untuknya” do’a-do’a Sari berkumandang, karena hanya pak Irsyadlah yang menyayanginya sebagaimana kedua orangtuanya.
“mbok aku pamit”, kata Sari. “mau pergi kemana kamu nduk?”, tanya mboknya dengan sedih, “ gak ruh mbok pokok kerjo golek duwik”, jawab Sari. “ apa kamu malu punya bapak dan mbok yang kere nduk? Urip itu harusnya nrimo ing pandum nduk” ujar mboknya dengan nada rendah. Perkataan mboknya ini membuat Sari meledak, “bukan aku malu mbok, bukan aku gak nrimo pandum. Aku mung pengin merubah nasibku mbok, ben bapak karo simbok gak dadi kuli terus-terusan”. Kata-kata Sari telah menampar hati pasangan yang terlihat renta jauh dari umur yang sebenarnya itu. Sari melihat bahwa kata-katanya berakibat luar biasa, bapaknya yang selama ini paling gagah sedunia tidak pernah mengeluh, tidak pernah menangis dalam kondisi apapun, kali ini terlihat mengalir air matanya meski tanpa suara, menyesal juga Sari mengatakan hal itu karena telah menyakiti hati orang yang mengasihinya. “ kon wis manteb tenan arep kerjo nduk?” tanya bapaknya, Sari hanya bisa mengangguk tanpa berani memandang wajah bapaknya, “ yo wis nek ngono tak golek srono”, lanjut bapaknya.
Dua hari setelahnya dengan membawa syarat-syarat administratif dan uang dua juta, Sari diantar bapaknya ke sebuah PJTKI di Surabaya untuk diberangkatkan sebagai TKW ke Arab Saudi sebuah negara yang selalu terngiang dikepala Sari. Keberangkatan Sari tidaklah diiringi hujan air mata oleh keluarganya hanya do’a-do’a yang menghantar Sari, gadis yang baru berumur 13 tahun, gadis yang bahkan belum pernah tahu kota Banyuwangi itu rela demi keluarga untuk terbang ke negeri yang jauh dari pesisir timur Banyuwangi, negara gurun Saudi Arabia.
******
Tiga bulan sudah Sari di Arab Saudi, nada bangga dalam surat-surat yang dikirimkan ke orangtuanya di Banyuwangi, dia telah bekerja pada seorang Arab keturunan Maroko yang sangat ganteng dan cantik, majikannya orang-orang baik selalu memuji hasil kerjanya. Beberapa kali dia diajak majikan perempuannya untuk belanja di toko-toko besar yang sama sekali tidak ada dikampungnya, naik mobil besar yang enak sekali tapi sangat dingin, sopirnya bapak-bapak katanya rumahnya dekat Indonesia, Bangladesh. Dengan sombong di suratnya Sari menyebutkan bahwa dirumah majikannya semua ngomong dengan bahasa Arab bahkan anak majikannya yang baru berusia tiga tahun juga ngomongnya dengan bahasa Arab. Sari dalam suratnya semakin narsis, dia juga selalu ngomong dengan bahasa Arab, sudah lanyah banget seperti pak Tugino guru madrasahnya.
Bukan cerita Sari yang meledak-ledak itu, yang membuat orang tuanya terharu tapi baris-baris terakhir surat Sari lah yang membuat mereka trenyuh…bapak-simbok anakmu disini apik-apik wae, aku krasan disini, dongake biar aku disini selalu baik, nanti nek wis bayaran tak kirim duwik ben adik-adikku bisa sekolah tinggi banget, ben omah bisa didandani, ben bapak-simbok tidak rekoso lagi… mbok aku pengin disisiri, dipetani dicari tumane, wis yo bapak-simbok dongake aku…
Surat yang dikirim Sari telah menjadi magnet tersendiri dikampungnya, surat itu diantar langsung oleh pak lurah ke orang tuanya, orang kampung geger, pak lurah mampir bahkan mertamu digubuk orang tua Sari. Penasaran, warga kampung berduyun-duyun kerumah orang tua Sari pengin tahu apa yang terjadi hingga pak lurah orang yang sangat terhormat mau mertamu kerumah reot itu. Bagai seorang orator demo simbok Sari dengan penuh semangat mengabarkan kepada orang kampung tentang kehebatan Sari seperti dalam surat yang dikirim. Orang kampung tersihir, Sari yang dua bulan kemarin bukan apa-apa sekarang seperti selebritis dikampungnya. “memang kalau gadis rajin ya nasibnya baik”, ujar orang kampung, “kapan balik tak pek mantu bocah iku”, kata yang lain. Sari memang fenomenal sehingga setiap bulan orang kampung selalu ingin mengetahui kabar Sari dari surat-surat yang dikirimnya, berapa duwit yang dikirim dan seperti apa foto-foto yang dikirim Sari ke orang tuanya.
Dalam foto-foto yang dikirim Sari semakin terlihat cantik, namun bukan itu yang bikin orang kampung geger lagi, foto Sari dan dua majikannya yang berlatar belakang baitullah itulah yang bikin geger, “apakah Sari sudah haji di Mekah?”, tanya orang kampung. Memang Sari telah menunaikan ibadah haji atas kebaikan majikan mereka, Sari diajak dua majikannya bersama pembantu-pembantu lain beserta sopir untuk menunaikan ibadah haji. Dalam suratnya Sari menceritakan, saat menunaikan ibadah haji dia selalu menangis, menangis bahagia dan haru karena impiannya sejak madrasah ibtidaiyah terlaksana. Sari hanya ingat suara majikannya,” bi syur’ah! Bisyur’ah!” saat majikannya itu berusaha melindunginya dari banyak orang saat akan mencium Hajar aswat, “ya Allah telah Kau kabulkan do’a-do’aku selama ini”, jerit Sari. Dia selalu teringat orang tua dan dua adiknya, dan yang tak mungkin dilupakannya adalah pak Irsyad, yang seolah telah meramalkannya untuk dapat menunaikan ibadah haji. Mereka itulah yang selalu dalam lantunan do’a-do’a Sari di Baitullah.
Sari menjadi idola apalagi setelah haji, dan Gunawan seorang pemuda ganteng kakak kelas Sari dulu di madrasah yang juga tidak pernah ketinggalan untuk berkunjung kerumah orang tua Sari untuk mengetahui kabar Sari. Orang tua Sari sangat paham bahwa Gunawan tertarik kepada Sari terlihat bagaimana cara dia melihat-lihat foto Sari, bahkan pernah nembung untuk minta foto Sari yang berlatar Baitullah sebagai do’a agar dia bisa menyusul Sari untuk dapat berhaji. Orang tua mana yang tidak mengetahui bahwa Gunawan, pemuda itu lagi gandrung, tanpa basa basi foto itu telah beralih tangan ke Gunawan. Kecintaan Gunawan terhadap Sari semakin terlihat saat selalu memberikan pesan-pesan dalam surat yang ditulis Warti untuk kakaknya Sari di Arab. Rupanya cinta Gunawan tidak bertepuk sebelah tangan, melalui surat-suratnya Sari mengisyaratkan untuk menerima cinta Gunawan, mereka berpacaran meski tidak pernah bertemu, bahkan mereka tidak pernah saling berkirim surat secara langsung, hanya saling menitip kerinduan lewat surat yang ditulis Warti kepada Sari dan sebaliknya.
“Sari mau pulang dari Arab”, kata Warti kepada Gunawan, ” pean ikut ya ke bandara Surabaya”, lanjut Warti. Asa Gunawan melambung seolah-olah dia mau menjemput pengantin perempuan segera ijab dan merenda hari yang indah. Begitupun Sari ingin segera bertemu dengan keluarga dan tentunya Gunawan, dia tidak peduli sudah dipalak oleh oknum-oknum bandara sejumlah dua juta untuk segera bisa keluar dari area bandara dan bertemu orang-orang yang dicintainya.
Dirumahnya yang telah diperbaiki, Sari banyak menerima tamu layaknya seorang yang baru pulang haji, jajanan kue-kue, kurma, kismis dan makanan khas Arab lainnya terhampar dimeja panjang. Banyak yang meminta Sari untuk bercerita tentang bagaimana dia dapat melaksanakan haji, prosesi haji di Makah diberi kemudahan tidak, hal gaib apa yang ditemui. Dari semua tamu yang ada Gunawanlah orang yang paling tak terurus, Sari sedang lupa, Sari baru mabok popularitas. Hal ini tak mengecewakan Gunawan karena memang Sari sedang menjadi pusat perhatian orang, Gunawan memilih untuk membantu keluarga Sari mempersiapkan jamuan untuk para tamu, mengantar teh, menarik piring kosong, seolah sudah menjadi bagian keluarga Sari. “kapan mau nikahan mereka?” bisik para tamu, “ pasangan yang cocok, mereka sungguh beruntung, Sari cantik pandai cari duwik sedang Gunawan ganteng bertanggungjawab”, timpal yang lain. Orang-orang kampung dihebohkan dengan gosip pernikahan Sari dengan Gunawan. Pasangan itu menjadi sangat populer.
Kabar mengejutkan, bukannya mereka segera menikah malah Sari pergi mbabu lagi ke Taiwan. “ dasar babu gatel, sudah kenal barang Arab nggak mau lagi barang lokal, kurang apa Gunawan?”, kata sebagian gadis dikampung itu. Gosip miring telah beredar, hilang sudah Sari yang baik, Sari yang hebat, hajjah yang solihah, yang ada babu adalah babu yang selalu pengin mencari majikan baru. Cap jelek itu justru muncul saat Sari harus mengorbankan dirinya untuk keluarga, mengorbankan rencana pernikahannya dengan Gunawan demi adik-adiknya agar berpendidikan tinggi. Kepergian Sari disebabkan kurangnya uang yang didapat dari Saudi, uang itu telah habis untuk melunasi utang keluarga, memperbaiki rumah dan membayar sekolah. “ darimana uang untuk modal kita berkeluarga? Darimana uang untuk hajatan pernikahan kita? Aku harus pergi lagi mas, kuharap pean rela menungguku untuk kebahagian kita bersama, mung telung tahun mas”, itu yang dikatakan Sari kepada Gunawan sebelum berangkat ke Taiwan.
Tiga tahun sudah Sari di Taiwan, dan pagi itu dia sudah berada dibandara Surabaya dengan segunung rindu untuk keluarga, sudah barang tentu kerinduan untuk Gunawan, kerinduan gadis normal, kerinduan untuk membangun mahligai perkawinan. Namun kerinduan-kerinduan itu telah menjadi kekhawatiran karena Sari telah menunggu lebih dari dua jam diterminal kedatangan khusus TKI padahal seperti biasa dia sudah mengeluarkan uang dua juta setengah untuk segera bisa keluar area bandara. Sari hanya berdoa semoga keluarga yang menjemputnya tidak mengalami hambatan perjalanan dari Banyuwangi ke Surabaya. Kegelisahan Sari semakin menjadi ketika para calo bandara selalu menawarinya bahkan memaksanya untuk naik travel mereka dan diantar ke tempat tujuan dengan harga yang mahal tentunya.
Tiga jam sudah Sari menunggu dalam kegelisahan, dalam kegalauan Sari dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan yang sangat dikenalnya,” simbok”, jerit Sari, keduanya berpelukan bertukar airmata seolah harus berpisah kembali. “wis suwe tekane nduk?” suara bapaknya telah melonggarkan pelukan Sari terhadap mboknya. Sari mencium tangan bapaknya, begitupun bapaknya itu memeluk erat putrinya seolah ada penyesalan yang sangat. Dalam perjalanan ke Banyuwangi kedua orang tua itu lebih banyak diam, tidak seperti saat Sari pulang dari Arab dulu. Sari melihat ada mendung diwajah bapak ibunya, mendung itu begitu terlihat dan begitu terasa baginya. “ada apa mbok kok kelihatan sedih? Mana Warti dan Seno, mas Gun kok juga gak melok mbok?” pertanyaan Sari itu begitu menghunjam hati kedua orang tua itu, bagaimana harus menjawab pertanyaan yang sebetulnya sederhana itu. Haruskah mereka menjawab yang sebenarnya, sebuah jawaban yang tentunya akan membuat Sari terluka hati, mereka tidak kuat membuat hati putrinya, pahlawan keluarga itu hancur. Karena yang sebenarnya adalah Gunawan telah menikahi Warti adik kandung Sari, tentunya satu kenyataan yang sangat sulit diterima oleh perempuan manapun, seorang kekasih telah menikah dengan orang lain apalagi dengan adik perempuannya sendiri. Dalam kekalutan, bapaknya itu menjawab,”Warti karo Seno gak melok mergo wedi mabok kendaraan nduk, nek sigun lagi loro”. Kata-kata bapaknya ini membuat Sari semakin bertanya-tanya, bagaimana bisa Seno yang menjadi kernet angkot bisa mabok kendaran bahkan adik laki-lakinya itu pernah menjadi kernet sampai ke pulau Bali, Warti juga tidak mungkin mabokan sedang adik perempuannya itu senang plesiran. Sebetulnya banyak pertanyaan dibenak Sari, namun dia tak mau membuat suasana semakin tidak nyaman, dia hanya berdoa dalam hati semoga dua adiknya dan calon suaminya dalam keadaan baik.
Sari menjadi sangat bingung saat bapaknya menjelaskan bahwa nanti mereka tidak langsung menuju rumah, tapi akan mampir dulu kerumah mbokdenya dulu karena mbokdenya itu sangat kangen padanya. Harusnya kan kerumah dulu, nanti setelah itu dia sowan kerumah mbokdenya, pikir Sari. Dalam hatinya, Sari pengin secepatnya melihat rumah yang baru diperbaiki dengan uang 30 juta yang dikirimnya dari Taiwan, rumah yang akan ditempati oleh keluarga besarnya dan barang tentu dengan Gunawan calon bapak dari anak-anaknya. Namun Sari tidak menolak untuk mampir ketempat mbokdenya dulu, tak ada salahnya mampir ke rumah mbokdenya karena kelewatan kalau mau pulang kerumah sendiri, pikir Sari.
Kebingungan Sari bertambah setibanya dirumah mbokdenya, suasananya, suasana rumah mbokdenya, suasana yang persis dengan pemberangkatan jenazah. Orang-orang dirumah mbokdenya terlihat sedih menatap Sari, bahkan mbokdenya berlinang airmata memeluk dan menciumnya,” ini airmata kesedihan”, batin Sari. “ ada apa to mbokde?”, tanya Sari dengan suara yang telah serak menahan tangis. Pertanyaan Sari tidak terjawab, yang muncul justru suara tangis bak koor lantunan lagu kebangsaan, dalam ketidaktahuan akhirnya tangis Sari meledak juga di pelukan mbokdenya.
Kegalauan Sari semakin memuncak saat bapaknya ndeprok duduk berlutut memeluk kakinya dengan kuat, dengan suara serak dan berat sambil menahan tangis, bapaknya berkata,” sepurane nduk, sepurane, bapak karo simbokmu gak isoh nyegah Warti adimu rabi karo Gunawan”. “ya Allah”, teriak Sari yang kemudian tenang dalam pingsannya. Hilang sudah semua impian, hilang semua keinginan, keinginan untuk mengantar dua adiknya menjadi orang kuliahan, impian untuk mengasuh anak-anaknya dari Gunawan. Realitas pahit dan menyakitkan justru yang ditemukan Sari dari kepulangannya kali ini, Sari tak mampu berkata-kata, dia kini berada di negeri kebisuan.
“ jahat betul mereka berdua, jahat betul dalam keadaanku yang remuk begini masih pengin mereka ketemu aku, masih punya muka mereka”, batin Sari. Bagaimana tidak sakit, adik perempuannya yang selalu dia kirimi uang setiap bulan untuk keperluan sekolah, yang dia harapkan akan berpendidikan tinggi, lebih memilih berhenti sekolah dan menikah. Lebih menyakitkan lagi pria yang dipilihnya adalah calon pengantin kakaknya sendiri, Gunawan.
Sari tetaplah Sari, Sari adalah kakak yang sangat mencintai adiknya betapapun telah melukainya, Sari masih tetaplah seorang kekasih yang memberikan pengorbanan untuk Gunawan meskipun sang kekasih telah mengkhianati. Uang 20 juta hasil dia mbabu di Taiwan, dia relakan untuk pasangan pengantin baru, membangun kehidupan mereka, yang berarti juga menenggelamkan kehidupannya sendiri.
******
Hari ini Sari telah berada di Hongkong, menjadi babu lagi, dengan hati yang masih tersisa dia selalu melantunkan do’a-do’a, “ya Allah! Hadirkanlah seorang laki-laki yang baik untukku dan mengajakku pulang dari negeri babu ini”.

Tidak ada komentar: