Alkisah, disebuah hutan antah berantah, berdirilah sekolah baru bagi seluruh warga hutan. Sekolah ini memiliki fasilitas dan kurikulum lengkap, sehingga diklaim menjadi sekolah standar A+ berdasarkan maklumat dari pemerintahan Raja Hutan. Sebagai sekolah favorit, siswanya tentulah ramai. Ada si bebek, si kancil, si burung elang, sampai si tikuspun bersekolah disini.
Namun ada kegalauan dihati emak si Tikus, semenjak disekolahkan, si Tikus rajin sekali belajar hal baru. Belajar manjat pohonlah, belajar terbang, belajar menggali tanah sampai belajar berenang. Emak si Tikus gak tahan juga, dan akhirnya bertanya,
“Nak, emang disekolah harus belajar gitu segala? ” Tanya emak tikus pada anaknya.
“Iya mak. Disekolah kita diblajari semuanya mak..” Jawab si anak yang lagi belajar terbang.
“Tapi kalo gini, sampai kapanpun kamu gak akan pernah berhasil nak, nilai kamu bakal jelek terus untuk pelajaran berenang, apalagi terbang” timpal emak sedikit resah.
“Habis Kurikulum sekolah mengharuskan kita belajar ini sih mak, jadi mo gimana lagi?” balas menimpali si anak.
“Boleh saja belajar hal yang baru, tapi kamu memiliki kecerdasan hakiki (mengerat) yang harus kamu kembangkan nak..Jangan-jangan karena terlalu banyak belajar hal baru, kamu lupa bagaimana caranya mengerat. Akhirnya apa, kamu tidak memiliki kemampuan cukup karena hasilnya malah setengah semua, terbang gak bisa, mengerat yang jadi keahlianmu pun lupa…” Ungkap emak.
“Benar juga ya mak! Temenku si burung Elang pun sekarang aneh. Dia sering lupa bagaimana caranya terbang karena keasyikan belajar berenang. Keahlian utamanya malah gak berkembang…” Ujar si anak Tikus sembari berhenti dari kegiatannya.
“Ya udah, besok emak bersama orangtua murid akan menghadap komite sekolah, gimana solusinya agar siswa berkembang optimal. Apakah harus menggunakan kurikulum KTSP seperti yang emak denger dari bangsa manusia..” Kata si emak sembari menyiapkan minuman buat si anak.
“KTSP ? Apa lagi tu mak?” Tanya si anak heran.
“KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ciptaan bangsa manusia. Intinya bagaimana mengoptimalkan kecerdasan siswa yang ternyata beragam, majemuk. Meski sama namanya, manusia, tapi mereka benar-benar berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, tidak ada lagi panggilan bodoh/goblok. Yang ada dia tidak cerdas pada bidang tertentu, tapi cerdas dibidang yang lain…” Jelas si emak.
“Wah, bisa diterapin gak ya mak di negeri hutan? Keknya KTSP bisa jadi solusi untuk mendongkrak kecerdasan hakiki tiap siswa disekolahku mak..”
“Tergantung bagaimana guru mengolah kurikulum tersebut. Lagi pula kita tunggu juga hasilnya, karena KTSP masih setengah jalan. Bangsa manusia sendiri masih kebingungan untuk menerapkannya…” si emak menjelaskan.
“Tambah berat dung beban guru ya mak? Berarti dia harus memiliki kecerdasan yang mewakili tiap individu yang berbeda…ckk…ck..ck..salut buat guru…” Terkagum-kagum si anak mendengar penjelasan emaknya.
“Makanya, buat kamu yang otaknya sedikit, jangan jadi guru. Mending kamu cari kerjaan lain. Lagi pula jadi guru gajinya kecil, tapi tuntutannya besar. Tapi anehnya, bangsa manusia tau itu, tapi mereka seolah tak mau tahu…dah gih, mandi sono…badan kamu bau..” Kata emak menutup pembicaraan.
Dari kisah ini ada hal yang sangat penting yang bisa kita jadikan sebagai landasan untuk meningkatkan pendidikan kita. Selamat berjuang para pendidik putra-putra bangsa.....
Disadur dari sebuah komentar pada http://gurupkn.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar